Konflik antara Palestina dan Israel bukan hanya sekadar isu geopolitik, tetapi juga tragedi kemanusiaan yang menyentuh kompleksitas hubungan internasional, ketimpangan kekuasaan, dan krisis nilai-nilai universal. Meskipun gencatan senjata telah disepakati beberapa kali, serangan militer Israel terus mengoyak struktur sosial dan psikologis masyarakat Palestina. Dampaknya terlihat dalam penderitaan secara fisik, mental, dan spiritual yang melanda masyarakat Palestina.
Respons terhadap konflik ini bervariasi dari masyarakat global. Ada yang memilih pendekatan melalui diplomasi dan hukum internasional, sementara lainnya lebih fokus pada solidaritas dengan korban kekerasan. Namun demikian, terdapat juga respons emosional yang berlebihan dan reaktif, termasuk di antaranya ingin berjihad secara fisik sebagai respons terhadap konflik.
Indonesia, sebagai negara yang mengusung nilai-nilai harmoni dan perdamaian universal, harus merespons konflik ini dengan bijaksana. Solidaritas tidak harus berarti partisipasi militan, namun dapat diwujudkan melalui diplomasi kemanusiaan, peran masyarakat sipil, dan edukasi publik yang mempromosikan nilai-nilai toleransi dan harmoni.
Dalam upaya mencegah radikalisasi dan merawat perdamaian, diperlukan pendekatan yang terintegrasi antara spiritualitas, humanisme, dan literasi digital. Hal ini membutuhkan kerja sama antara sistem pendidikan, narasi keagamaan, dan kebijakan publik untuk membangun masyarakat yang peduli dan beradab dalam menanggapi konflik global seperti konflik Palestina-Israel.