Industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia terus mengalami perkembangan seiring dengan berbagai kebijakan yang diterapkan. Sejak penggunaan tarif spesifik mulai diterapkan pada tahun 2007, penerimaan negara dari cukai rokok mengalami peningkatan yang signifikan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, penerimaan tersebut mulai melambat dan tidak mencapai target yang telah ditetapkan. Berbagai kebijakan non-fiskal, seperti larangan penjualan di sekitar sekolah dan wacana kemasan polos untuk produk rokok, semakin membatasi industri tembakau. Sementara kebijakan fiskal terbaru menetapkan peningkatan Harga Jual Eceran (HJE) rokok konvensional dan elektrik tanpa kenaikan tarif cukai untuk tahun 2025.
Upaya pemerintah ini bertujuan untuk mengendalikan konsumsi, menstabilkan industri, dan mencegah down trading. Namun, terdapat kekhawatiran bahwa kenaikan HJE rokok bisa mendorong konsumen beralih ke produk ilegal yang lebih murah, mengancam penerimaan negara. Harold Simatupang, seorang pakar perpajakan, menyebutkan bahwa langkah strategis yang diperlukan adalah fokus pada stabilitas tarif dan penguatan pengawasan terhadap produk ilegal. Meskipun penegakan hukum terus dilakukan, penurunan konsumsi dan pencapaian target penerimaan menjadi tantangan utama.
Diharapkan kebijakan yang seimbang dapat menjaga industri legal, meningkatkan kepatuhan fiskal, dan tetap mendukung kesehatan masyarakat. Sebagai langkah preventif, evaluasi terhadap regulasi yang menghambat pemasaran produk legal serta penegakan hukum yang kuat terhadap rokok ilegal menjadi hal yang sangat penting. Dengan demikian, Indonesia diharapkan dapat menjaga keberlangsungan industri hasil tembakau dan mengoptimalkan penerimaan negara tanpa mengorbankan aspek-aspek penting lainnya.