Ibu Jurtini Melawan Mafia Agraria: Tegakkan Hukum!

Tanah seluas dua hektare di Desa Ujung Bandar, Rantau Selatan, Labuhanbatu, adalah aset berharga bagi keluarga Ramali Siregar. Namun, lahan warisan ini diduga telah digugat oleh empat perusahaan dan lima individu dengan sertifikat terbitan tahun 1995. Keputusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat yang menguntungkan para tergugat telah membuat publik curiga terhadap adanya mafia tanah dan mafia peradilan di daerah tersebut.

Jurtini Siregar (66 tahun) bersama LSM Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia (KCBI) datang ke DKI Jakarta untuk meminta keadilan terkait kasus ini. Mereka ingin agar pemerintah pusat, aparat hukum, dan Komisi Yudisial menyelidiki secara menyeluruh kasus perampasan tanah dan dugaan rekayasa bukti.

LSM KCBI menilai bahwa putusan pengadilan PN Rantau Prapat telah melanggar prinsip-prinsip hukum yang sehat. Segel asli tanah, surat keterangan waris, pernyataan dari kepala desa dan camat, serta kesaksian dua saksi telah diabaikan, sementara segel 1990 yang diduga palsu dijadikan sebagai dasar legalitas.

Langkah selanjutnya yang diambil termasuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan, melaporkan ke KPK dan Komisi Yudisial, dan meminta perlindungan saksi. Selain itu, petisi publik dan koalisi sipil dibentuk untuk mendukung penegakan hukum yang bersih.

Kepada negara, diserukan agar Kementerian ATR/BPN melakukan audit menyeluruh terkait penerbitan sertifikat tahun 1995, Mahkamah Agung mengawasi kasus agraria yang mencurigakan, dan Kapolri serta Kejaksaan Agung membentuk satgas anti-mafia tanah di Labuhanbatu dan daerah lainnya.

Kisah ibu Jurtini hanyalah satu dari ribuan kasus perampasan tanah di Indonesia. Keadilan yang terlambat adalah keadilan yang terenggut, dan negara harus melindungi hak-hak rakyatnya dengan sungguh-sungguh.

Source link