Stunting, atau gangguan pertumbuhan pada anak, merupakan isu kesehatan masyarakat yang mendesak di Indonesia. Prevalensi stunting di Indonesia menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencapai 21,5%, masih di atas standar yang dianjurkan World Health Organization (WHO) yaitu di bawah 20%. Meskipun terjadi penurunan tren dalam 5 tahun terakhir, rata-rata penurunan hanya sebesar 1,85% per tahun. Hal ini membuat Indonesia terkategori sebagai negara dengan prevalensi stunting kronis.
Pencapaian penurunan stunting dalam 5 tahun terakhir sebesar 9,3% masih jauh dari target pemerintah untuk menurunkan prevalensi stunting menjadi 14% (sesuai target RPJMN 2020-2024). Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGI) tahun 2024 yang saat ini dalam proses finalisasi akan menjadi penting untuk mengevaluasi dampak program-program kebijakan terkait stunting.
Data Asian Development Bank (ADB) tahun 2020 menunjukkan bahwa 31,8% anak di Indonesia mengalami stunting, menjadikan Indonesia peringkat kedua tertinggi di Asia Tenggara setelah Timor Leste. Situasi ini tidak hanya menunjukkan kurangnya asupan gizi yang memadai pada anak-anak, tetapi juga ketidakseimbangan akses terhadap layanan kesehatan dasar dan sanitasi.
Stunting menjadi indikator gizi penting untuk menilai kemajuan atau kemunduran suatu negara dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs). Tujuan SDGs untuk mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik hingga tahun 2030 harus bertujuan menghilangkan segala bentuk kekurangan gizi pada anak-anak di bawah 5 tahun.
Dampak jangka panjang stunting bukan hanya terbatas pada gangguan pertumbuhan fisik pada anak, namun juga hambatan perkembangan kognitif dan risiko penyakit tidak menular pada masa dewasa seperti diabetes dan obesitas. Oleh karena itu, penanganan stunting menjadi kunci dalam membangun sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing.