PT Timah (Persero) Tbk membawa gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai bertentangan dengan tujuan regulasi tersebut. Menurut Pakar Hukum Pidana Prof. Romli Atmasasmita, uji materi atas UU Pemberantasan Tipikor, khususnya Pasal 18 ayat (1) huruf b, tidak didasarkan pada akal sehat atau rasio legis. Menurutnya, perubahan terhadap pasal ini dapat menimbulkan kerugian negara yang signifikan.
Prof. Romli menyatakan bahwa ketentuan mengenai pidana uang pengganti harus tetap disesuaikan dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, bukan dengan nilai kerugian negara. Menurutnya, permohonan uji materi yang diajukan kepada MK justru dapat mengakibatkan para terdakwa harus membayar uang pengganti hingga ratusan triliun rupiah, seperti dalam kasus dugaan tindak korupsi komoditas timah.
Beliau menegaskan bahwa UU Tipikor yang sedang berlaku di Indonesia telah jelas dan tidak memerlukan perubahan, termasuk Pasal 18 ayat (1) huruf b. Pasal ini telah menjelaskan bahwa pembayaran uang pengganti harus sebanyak-banyaknya sesuai dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, bukan sebesar kerugian negara. Oleh karena itu, perubahan tersebut dapat membawa konsekuensi yang merugikan. Menurut Romli, kerugian negara yang diakibatkan oleh kasus seperti PT Timah sangat besar, sehingga menyesuaikan hukuman dengan nilai tersebut menjadi tidak rasional.