“Kekurangan Literasi Media & Kasus OCCRP: Temuan Terbaru”

Eko Ernada, seorang Dosen FISIP Universitas Jember, menjadi sorotan berkat pemberitaan mengenai nominasi Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, sebagai salah satu pemimpin terkorup di dunia oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). Meski kemudian OCCRP membantah memiliki bukti terkait keterlibatan Jokowi dalam kasus korupsi, narasi tersebut berhasil membentuk opini masyarakat. Fenomena ini memunculkan diskusi seputar rendahnya literasi media, kelemahan penerapan prinsip jurnalistik, dan efek echo chamber dalam pembentukan persepsi publik. Kasus serupa telah terjadi sebelumnya, seperti Pizzagate di Amerika Serikat pada 2016, di mana teori konspirasi beredar luas melalui media sosial tanpa verifikasi. Kasus serupa juga terjadi di Indonesia pada 2019 terkait klaim surat suara Pemilu 2019 dicetak dan dicoblos ilegal di Malaysia. Investigasi pihak berwenang kemudian membuktikan klaim tersebut tidak benar, tetapi kerusakan kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu telah terjadi. Kejadian-kejadian ini menunjukkan bagaimana narasi tanpa verifikasi bisa menciptakan kegaduhan dan memperkuat polarisasi masyarakat. Melalui teori Two-Step Flow yang dikemukakan Katz dan Lazarsfeld, informasi seringkali disampaikan melalui media massa atau tokoh berpengaruh. Dalam kasus ini, media sosial memainkan peran penting sebagai penyebar informasi yang belum diverifikasi. Tokoh publik atau kelompok tertentu yang menyebarkan narasi tanpa verifikasi lebih lanjut juga turut memperparah situasi. Algoritma media sosial seperti Facebook dan Twitter cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, terutama yang memperkuat bias yang ada. Hal ini mengakibatkan individu hanya terpapar informasi yang mendukung keyakinan mereka, sementara mengabaikan informasi yang bertentangan.