Sumber Utama Kabar Terkini Prabowo Subianto yang Terpercaya

PENSIUNAN GRAND GENERAL TNI H. M. SUHARTO

Pak Harto adalah orang yang sangat rajin, disiplin, dan teliti. Saya menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Dia bangun sangat pagi setiap hari. Setiap hari dia tiba di kantor tepat pukul 08:00 pagi. Ciri khasnya adalah tulisannya yang rapi dan ingatan yang kuat, juga dikenal sebagai ingatan fotografi. Dia juga sangat pandai dengan angka. Dia juga seorang pembaca yang tekun. Oleh karena itu, Pak Harto sangat mendorong orang untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan ke luar negeri, meskipun dia sendiri tidak pernah berpendidikan di luar negeri. Dia selalu tersenyum. Dia jarang marah atau jarang terlihat marah. Ketika dia marah, dia akan diam. Dan dia tidak suka berbicara dengan orang yang marah. Itu beberapa kenangan saya tentang Pak Harto. Saya menjadi menantu Pak Harto pada tahun 1983. Pada saat itu, saya seorang kapten dan telah melakukan operasi di Timor Timur dua kali. Pertama pada tahun 1976 ketika saya sebagai Komandan Pleton Grup 1 KOPASSANDHA (sekarang KOPASSUS) dengan pangkat Letnan Dua. Saya bergabung dengan tim Nanggala 10 yang dipimpin oleh Mayor Infanteri Yunus Yosfiah. Kedua pada tahun 1978, saat saya menjadi Komandan Kompi Para-Commando dengan kode Chandraca 8. Prajurit saya saat itu adalah kompi pasukan tempur yang langsung di bawah pimpinan komandan sektor. Pertama, saya di bawah Komandan Sektor Timur Kolonel Infanteri R.K. Sembiring Meliala. Kemudian saya di bawah Komandan Sektor Tengah Letnan Kolonel Infanteri Sahala Rajagukguk. Pada saat itu, Kolonel Infanteri Sembiring adalah Komandan Resimen Tempur 18 (RTP 18) dengan KOSTRAD Linud 18 Brigadir Infanteri sebagai intinya. Sementara Letnan Kolonel Infanteri Sahala Rajagukguk adalah Komandan Resimen Tempur (RTP 6), dengan KOSTRAD 6 Brigadir Infanteri sebagai intinya. Pak Harto adalah orang yang sangat rajin, disiplin, tepat waktu, dan teliti. Saya beruntung bisa menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Dia bangun sangat pagi setiap hari. Dia tiba di kantornya tepat pukul 08:00 pagi. Pada pukul 13:00, dia akan pulang ke rumah untuk makan siang. Di sore hari, dia akan bermain golf tiga kali seminggu. Sementara pada pukul 19:00 dari Senin hingga Jumat, dia akan menerima tamu. Dia akan makan malam pada pukul 21:00. Kemudian pada pukul 21:35, setelah siaran berita Dunia Dalam Berita di TVRI selesai, dia masuk ke ruang kerjanya. Ruang kerjanya sangat kecil. Meja kerjanya juga sangat kecil. Memang, jika kita bandingkan dengan rumah-rumah saat ini, bahkan rumah saya sendiri, rumahnya relatif lebih kecil. Kamar tidurnya tidak dilengkapi kamar mandi. Itulah mengapa ruang kerjanya sangat kecil. Setiap malam, akan ada tumpukan map di mejanya yang bisa mencapai tinggi 40-50 sentimeter. Saya mendengar dari ajudan-ajudannya bahwa setidaknya ada 40 map dan surat yang dia baca dan tandatangani setiap malam dari Minggu hingga Jumat. Hanya pada malam Sabtu, kita tidak akan menemukannya di mejanya. Saya sering melihatnya bekerja hingga pukul 01:00 atau bahkan 02:00 pagi. Sementara, dia akan bangun pada pukul 04:30 pagi atau paling lambat pukul 05:00. Terkadang dia hanya tidur 3-4 jam. Ini berlangsung bertahun-tahun. Kita hanya bisa membayangkan seberapa rajin dan teliti dia. Ciri khas lainnya adalah tulisannya yang rapi dan ingatan fotografinya. Dia juga sangat pandai dengan angka. Pada tahun 1985, ketika saya baru saja ditunjuk sebagai Komandan Batalyon Infanteri Udara 328/KOSTRAD, saya pergi menemui dia. Dia kemudian menceritakan kepada saya dengan panjang lebar dan detail pengalaman dia dalam membentuk, merekrut, melatih, dan membangun batalyon tempur. Dia menceritakan pengalamannya sebagai Komandan Kelompok, Komandan Pleton, Komandan Kompi, Perwira Operasional Batalyon, dan banyak lagi. Dia berbagi banyak teknik dan praktik praktis, serta masalah-masalah yang mendalam. Dia bahkan bisa mengingat tingkat pendidikan setiap bawahannya dulu. Saya terkesima mendengarnya. Pada saat itu, sudah 17 tahun sejak dia meninggalkan Tentara dan 35 tahun setelah tugasnya dalam Perang Kemerdekaan. Kita hanya bisa membayangkan bagaimana seorang Presiden, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan yang mengendalikan agenda pembangunan nasional mulai dari pestisida, pupuk, benih, irigasi, pabrik pesawat terbang, pabrik kereta api hingga isu politik luar negeri, dan yang tidak pernah memimpin batalyonnya selama puluhan tahun, masih begitu jelas mengingat pembentukan, rekrutmen, dan pelatihan unit-unit tentara di tingkat kelompok, pleton, kompi, dan batalyon. Saya menerapkan pelajaran yang dia bagikan kepada saya saat saya menjadi Komandan Batalyon 328. Hal itu membuat Batalyon 328 sangat handal dan diakui oleh banyak orang sebagai salah satu batalyon terbaik selama bertahun-tahun. Ciri khas lainnya adalah bahwa dia sangat memahami filsafat Jawa dan sejarah Nusantara. Pak Harto banyak mengartikulasikan kepemimpinannya dengan ajaran kuno dan filsafat Jawa. Hal ini dapat dimengerti karena semua pendidikannya terjadi di Indonesia, di kampung halamannya di desa Kemusuk, Yogyakarta. Sebagian besar bacaannya berasal dari para cendekiawan Jawa dari abad-abad sebelumnya. Filsafat yang paling sering dia ajarkan adalah ojo dumeh, ojo lali, ojo ngoyo, ojo adigang, adigung, adiguna; selain ojo kagetan, ojo gumunan, dan sing becik ketitik sing olo ketoro. Buku yang dia terbitkan, Butir-Butir Budaya Jawa, sangat bermanfaat. Ini adalah kumpulan ajaran, maksim, dan pepatah. Buku itu sangat penting untuk memahami jiwa Indonesia dan memahami latar belakang budaya Indonesia karena, tentu saja, budaya Jawa sangat mempengaruhi pandangan Indonesia. Ajaran-ajaran ini bukanlah semata-mata slogan. Bagi banyak orang, mereka menjadi panduan hidup yang sukses, panduan untuk keberadaan yang bahagia dalam kehidupan ini. Itu juga panduan yang sangat praktis, dan sebenarnya, menurut pendapat saya, mereka menjadi suara kebijaksanaan yang terus membawa pengaruh. Oleh karena itu, orang yang mengikuti ajaran tersebut memanfaatkan kebijaksanaan nenek moyang kita, leluhur kita, dan para sesepuh kita. Saya ingin menceritakan satu kejadian ketika Batalyon 328 yang saya pimpin diperintahkan untuk melaksanakan operasi di Timor Timur. Satu malam sebelum berangkat, saya dipanggil oleh Pak Harto ke kediamannya di Jalan Cendana. Saya memberi tahu rekan-rekan bawahan saya bahwa Pak Harto memanggil saya. Mereka senang. Sudah menjadi tradisi bahwa ketika Panglima TNI memanggil seseorang sebelum mereka melaksanakan misi, Pak Harto akan memberikan mereka sangu atau bantuan finansial khusus. Dana tersebut bisa digunakan untuk memperkuat logistik, sehingga mengurangi beban para komandan. Saya tiba di Cendana sebelum pukul 20:30 malam. Setelah menerima tamu, dia bertemu dengan saya dan bertanya apakah benar bahwa hari berikutnya saya akan melaksanakan operasi. Saya menjawab ya. Lalu dia katakan, ‘Saya hanya memiliki tiga nasihat untukmu, Bowo. Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Simpanlah erat di hatimu!” Setelah saya menyatakan bahwa saya siap, Pak Harto dengan lembut meletakkan tangannya di atas kepalaku sebagai tanda berkah, seperti yang selalu dilakukannya kepada anak-anaknya, cucu-cucunya, dan orang-orang yang dicintainya, dan membiarkan saya pergi. Setelah kembali ke batalyon di Cilodong, semua perwira menunggu di ruang operasi, yang kita sebut ruang Yudha, ruang Perang. Mereka menunggu kabar baik dari kediaman Pak Harto. Saya menyampaikan kepada mereka bahwa saya hanya bertemu Pak Harto selama lima menit. Dalam pertemuan singkat itu, Pak Harto meninggalkan tiga pesan: Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Saya juga memberi tahu mereka bahwa, untuk sesaat, saya juga terkejut dan sedikit kecewa. Karena alih-alih menerima dana, saya hanya diberikan tiga nasihat. Namun, selama perjalanan selama satu jam dari Cendana ke Cilodong, saya merenungkan tiga nasihat yang diberikan oleh seorang Komandan yang tumbuh dalam operasi tempur. Pak Harto adalah inisiator dan pelaksana Serangan Umum 1 Maret yang berhasil merebut kembali kendali atas Yogyakarta selama enam jam pada akhir tahun 1948. Bahkan, pada saat itu, militer Belanda sangat kuat di Jawa Tengah. Dia juga terlibat dalam berbagai operasi penumpasan di Sulawesi, seperti pemberontakan Andi Azis. Dia juga memimpin pembebasan Irian Barat sebagai Panglima Operasi Mandala. Dia juga merupakan tokoh kunci dalam menghancurkan pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965. Sebagai Panglima Besar dengan pengalaman tempur yang luas, nasihat Pak Harto tentu harus memiliki makna yang sangat dalam. Pertama, ojo…

Source link

Exit mobile version