Sumber Utama Kabar Terkini Prabowo Subianto yang Terpercaya
Berita  

Penilaian Koalisi Masyarakat Sipil Mengenai Keputusan MK mengenai Batas Usia Calon Presiden-Calon Wakil Presiden Ekspos Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memberikan kelonggaran kepada putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, dianggap sebagai sebuah kemunduran dalam demokrasi. Lebih dari itu, putusan tersebut dianggap sebagai bentuk nyata dari praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis menilai putusan tersebut dipenuhi dengan konflik kepentingan yang terjadi akibat paman Gibran, yang merupakan Ketua MK Anwar Usman, mengabulkan gugatan tersebut. Akibatnya, Anwar diduga melanggar kode etik dan perilaku sebagai seorang hakim.

Salah satu perwakilan dari koalisi tersebut, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, menyatakan bahwa putusan tersebut merupakan bentuk intervensi dan manipulasi kekuasaan yang terang-terangan dilakukan. Hal tersebut dianggap sebagai puncak dari kehancuran hukum dan demokrasi di Indonesia.

“Kami melihat bahwa apa yang terjadi di MK pada putusan Perkara Nomor 90 tersebut merupakan bentuk Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme yang sangat jelas,” ujar Julius dalam keterangannya yang dikutip, Sabtu (4/11/2023).

Menurut Julius, perkoncoan dan nepotisme dilakukan oleh penguasa demi kepentingan keluarga, bukan kepentingan negara. Ia menilai bahwa putusan tersebut bertentangan dengan semangat Reformasi yang menolak segala bentuk nepotisme.

Hal ini juga bertentangan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

“Praktik nepotisme antara penguasa dan MK ini merupakan bentuk perusakan terhadap demokrasi dan hukum di Indonesia yang tidak dapat dibiarkan,” tegas Julius.

Dalam perspektif pemilu, Julius juga menambahkan bahwa putusan MK tersebut telah merusak proses pesta demokrasi yang akan segera dilaksanakan. Ia merasa bahwa sejak awal berkuasa, pemerintahan telah menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi hukum demi melanggengkan dinasti politik mereka.

“Sulit untuk mencapai proses pemilu yang demokratis dan hasil yang demokratis setelah putusan MK ini. Hal ini dikarenakan sejak awal, penguasa sudah menunjukkan dan mengekspos tangan-tangan kekuasaannya dalam mengintervensi satu lembaga yudikatif, yaitu MK,” tutup Julius.

(kri)

Exit mobile version