Pameran Wayang Yogyakarta: Seni Tradisi Bersuara tentang Krisis Ekologis

Sebuah pameran seni bertajuk Wayang Kota telah digelar di Monumen Antroposen, Sentulrejo, Bawuran, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Karya yang dipamerkan berupa wayang kontemporer berbahan limbah yang penuh muatan kritik terhadap krisis lingkungan dan ketimpangan sosial. Event ini diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) bekerja sama dengan Monumen Antroposen dan gerakan lingkungan Extinction Rebellion (XR), sebagai ruang pertemuan antara ekspresi seni, kesadaran ekologis, dan aktivisme sosial. Pameran berlangsung dari 26 Juli hingga 30 Agustus 2025, memamerkan 10 karya wayang hasil seleksi dari 18 seniman yang mendaftar. Karya-karya tersebut dibuat dari bahan-bahan daur ulang seperti botol plastik bekas, chip kartu bekas, potongan pagar, map plastik, hingga label kemasan.

Salah satu karya yang mencuri perhatian adalah Wayang Disabilitas karya Kus Sri Antoro, yang menggambarkan tokoh wayang dengan tubuh tak sempurna. Lewat karya ini, Kus menantang persepsi umum tentang disabilitas dan menegaskan bahwa tubuh “cacat” pun memiliki kekuatan naratif serta nilai representasi yang penting dalam ruang publik. Karya lain yang mendapat penghargaan utama adalah Sri Tumuwuh, hasil kolaborasi anggota komunitas penghayat kepercayaan. Karya ini menggabungkan kritik krisis iklim dengan nilai-nilai spiritual dan tradisi leluhur, khususnya praktik wiwitan sebagai simbol hubungan manusia dengan alam. Sementara Astaga oleh Topan Adi Saputra, yang menyoroti kecemasan akan masa depan bumi akibat eksploitasi berlebihan, meraih tempat sebagai pemenang ketiga. Total hadiah yang diberikan kepada tiga karya terbaik mencapai Rp2,5 juta.

Tim kurator dan juri yang terdiri dari berbagai latar belakang seni dan lingkungan memilih karya-karya tersebut untuk mendapatkan penghargaan. Pameran Wayang Kota di Monumen Antroposen dipandang sebagai sarana mengingat dan menggugat, serta pemicu kesadaran akan lingkungan dan ketimpangan sosial. Para penyelenggara berharap, melalui wayang, seniman dan masyarakat bisa terus bersinergi dalam menyuarakan keadilan ekologis. Tempat pameran yang berdekatan dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, menjadi pengingat akan urgensi krisis lingkungan yang masih belum terselesaikan hingga saat ini. Event ini merupakan upaya untuk menyatukan seni tradisi dengan isu-isu penting, menyuarakan krisis ekologis dalam lingkungan lokal. Menegaskan bahwa wayang bukan hanya artefak masa lalu, tetapi juga alat advokasi untuk masa kini dan masa depan.

Source link