Berita  

Kritik Akademisi terhadap Pembatasan Interaksi Jaksa dan Penyidik dalam RUU KUHAP

Polemik terkait RUU KUHAP yang sedang dibahas DPR terus bergulir. Salah satu klausul yang menjadi sorotan adalah mengenai interaksi antara jaksa dan penyidik yang hanya diperbolehkan satu kali. Menurut pakar hukum Nurini Aprilianda, hal ini berpotensi merugikan keadilan dalam proses hukum. Dalam seminar yang berjudul “Critical Review atas Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2025” yang diadakan di Gedung Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) di Malang, Nurini menekankan pentingnya melibatkan kejaksaan sejak awal proses penyidikan. Namun, pasal-pasal dalam RUU KUHAP seperti Pasal 24-26 justru membatasi interaksi antara jaksa dan penyidik.

Menurut Nurini, keterlibatan kejaksaan sejak awal proses penyidikan tidak hanya dapat memastikan keabsahan proses tersebut, tetapi juga mendukung efisiensi dan keadilan dalam penanganan kasus. Interaksi antara jaksa dan penyidik harus bersifat saling kontrol, bukan dominasi. Tanpa revisi dalam draft RUU KUHAP, proses hukum rentan terhadap penyalahgunaan wewenang dan ketidakpastian hukum.

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh akademisi FH Universitas Indonesia, Febby Mutiara Nelson, yang menilai bahwa pembatasan interaksi antara jaksa dan penyidik dalam setiap perkara adalah kebijakan yang keliru. Ia menegaskan pentingnya melibatkan kejaksaan sejak awal proses penyidikan untuk memastikan adil dan proporsional. Febby juga menyoroti istilah “penyidik utama” dalam Pasal 7 RKUHAP yang dinilainya tidak sesuai dengan doktrin hukum acara pidana. Lebih lanjut, ia menekankan perlunya keseimbangan fungsi antara kepolisian, kejaksaan, dan lembaga penyidikan lainnya dalam konteks checks and balances dalam sistem peradilan pidana.

Source link