Memahami perbuatan yang dapat dipidana tidaklah terlalu sulit karena biasanya dilakukan oleh orang awam yang melanggar undang-undang dan merugikan orang lain. Namun, jika dilihat dari pendekatan teoritik, hal tersebut menjadi sulit dipahami terutama oleh Penyidik Polri dan Jaksa karena banyak teori dan pendapat yang berkaitan dengan perbuatan yang dapat dipidana.
Suatu perbuatan dapat dipidana bukan hanya karena melanggar undang-undang, tetapi juga harus dipertimbangkan apakah pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Jika perbuatan seseorang sesuai dengan undang-undang namun dilakukan karena perintah undang-undang, perintah jabatan, atau dalam keadaan terpaksa, atau karena masih di bawah usia yang ditentukan oleh undang-undang, maka pelakunya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan dianggap tidak bersalah.
Untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, ada syarat harus ada dua alat bukti dan Hakim harus yakin akan kesalahan terdakwa. Jika hakim ragu-ragu, maka terdakwa harus dibebaskan. Namun, hal ini jarang terjadi pada kasus korupsi, terorisme, dan pencucian uang.
Selain itu, asas tiada pidana tanpa kesalahan menjadi prinsip utama dalam hukum pidana untuk melindungi masyarakat dari kesewenangan penguasa. Asas praduga tak bersalah juga sangat penting dalam proses peradilan pidana. Namun, seringkali asas hukum ini diabaikan terutama ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam praktiknya, pengadilan tipikor di Indonesia juga sering dipengaruhi oleh tayangan televisi dan media sosial yang mendiskreditkan tersangka sejak awal persidangan. Hal ini menyebabkan tersangka dan keluarganya mengalami “kematian perdata” dan terasing dari masyarakat.
Tersangka juga bisa kehilangan pekerjaan jika ditetapkan sebagai tersangka tanpa dasar yang jelas. Hal ini merupakan suatu bentuk kezaliman dan tindakan sewenang-wenang tanpa dasar hukum.