Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Jenderal Hoegeng Iman Santoso (1968-1971). FOTO/Arsip Nasional Republik Indonesia
JAKARTA – Hoegeng Iman Santoso atau yang populer dengan nama Hoegeng masih dianggap sebagai sosok mitos dalam sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) selama setengah abad terakhir. Ketegasan dan kejujurannya terus diingat setiap tahun, namun warisannya belum sepenuhnya diikuti. Pada Senin (1/7/2024) besok akan diperingati Hari Bhayangkara ke-78. Di antara banyak tokoh polisi, Hoegeng tetap menjadi sosok yang relevan untuk dikenang pada hari lahir Polri tersebut. Harapannya adalah agar Hoegeng tidak hanya dijadikan sebagai kebanggaan, tetapi juga menjadi inspirasi bagi anggota Polri dalam menerapkan moto Rastra Sewakotama atau Abdi Utama bagi Nusa Bangsa.
Hoegeng memimpin Polri hanya selama tiga tahun, dari 1968 hingga 1971, pada awal pemerintahan Presiden Soeharto. Meskipun masa jabatannya singkat, kepemimpinan Hoegeng berhasil membawa perubahan signifikan di tubuh Polri. Ia memperbaiki struktur organisasi di Mabes Polri agar lebih dinamis dan komunikatif. Polri juga semakin aktif di dunia internasional, terutama dalam International Criminal Police Organization, dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.
Selama masa kepemimpinannya, Hoegeng juga melakukan beberapa perubahan penting, di antaranya perubahan nama panggilan pimpinan Polri dan markas besarnya. Berdasarkan Keppres Nomor 52 Tahun 1969, Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) diubah menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri). Begitu pula dengan Markas Besar Angkatan Kepolisian yang berubah menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabes Pol). Perubahan ini juga membawa implikasi pada penyesuaian beberapa instansi di bawah Kapolri, seperti perubahan Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) menjadi Kepala Daerah Kepolisian RI atau Kadapol, yang saat ini dikenal sebagai Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda).
Saat menjabat sebagai Kapolri, Hoegeng menunjukkan sikap tegas dan tidak pandang bulu dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan ‘orang-orang kuat’. Beberapa kasus yang ditanganinya antara lain pemerkosaan Sum Kuning di Yogyakarta pada 1970, penyelundupan mobil mewah, dan penembakan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) oleh taruna Akabri. Akibat keputusannya yang tegas tanpa kompromi, Hoegeng terpaksa dipensiunkan sebelum waktunya.
Sebagai pimpinan Polri, Hoegeng juga menunjukkan keteladanan yang patut ditiru, tidak hanya oleh anggota Polri tetapi juga oleh masyarakat umum, dari berbagai profesi. Berikut adalah beberapa kisah keteladanan Hoegeng, seorang polisi jujur yang dihormati oleh Gus Dur bersama patung polisi dan polisi tidur.
1. Antisuap
Dalam buku ‘Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyataan, Sebuah Autobiografi’ karya Ramadhan KH (1993), diceritakan mengenai Hoegeng yang sering dihadapkan pada godaan suap. Pada tahun 1956, ketika ia berpangkat Kompol, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Direktorat Reskrim Kantor Polisi Sumut. Hoegeng, yang terkenal sebagai seorang polisi jujur, tegas, dan anti korupsi, ditugaskan di wilayah Medan yang banyak terjadi kasus kejahatan, mulai dari penyelundupan, perjudian, hingga perampokan.
Ketika pindah ke Medan, Hoegeng tidak memiliki rumah dinas karena rumah tersebut masih ditempati oleh pejabat sebelumnya. Situasi ini dimanfaatkan oleh bandar judi yang mengirim utusan untuk menghadapinya di Pelabuhan Belawan dan menawarkan rumah beserta mobil. Namun, Hoegeng menolak dengan sopan. Ia memilih untuk tinggal sementara di Hotel De Boer dan menunggu hingga rumah dinasnya tersedia.
Dua bulan kemudian, ketika rumah dinas di Jalan Rivai sudah siap, Hoegeng terkejut karena rumahnya sudah dipenuhi dengan barang mewah dari para bandar judi. Berbagai perlengkapan seperti kulkas, piano, tape, dan sofa mahal ditempatkan di rumahnya. Ternyata barang-barang mewah tersebut merupakan pemberian dari bandar judi. Utusan yang pernah menemui Hoegeng di Pelabuhan Belawan kembali mendatanginya. Namun, Hoegeng justru meminta agar semua barang mewah tersebut diambil kembali.
Namun, hingga batas waktu yang ditentukan, utusan tersebut tidak kunjung mengambil barang-barang mewah tersebut. Akhirnya, Hoegeng memerintahkan polisi dan kuli angkutnya untuk mengeluarkan semua barang itu dari rumahnya dan diletakkan di depan rumah. Bagi Hoegeng, itu merupakan pilihan yang lebih tepat daripada melanggar sumpah sebagai anggota Polri. Hoegeng sangat kesal ketika melihat para polisi, jaksa, dan tentara menerima suap dan hanya menjadi alat para bandar judi.