Sumber Utama Kabar Terkini Prabowo Subianto yang Terpercaya
Berita  

Harapan Pengamat Agar Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres 2024 Tidak Menimbulkan Konflik Seperti Tahun 1998

Harapan Pengamat Agar Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres 2024 Tidak Menimbulkan Konflik Seperti Tahun 1998

loading…

Pengamat Politik Ikrar Nusa Bhakti berharap, putusan MK terkait PHPU Pilpres 2024, tidak memunculkan konflik seperti tahun 1998. Foto/SINDOnews

JAKARTA – Pengamat Politik Ikrar Nusa Bhakti berharap, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024, tidak memunculkan konflik seperti tahun 1998.

“Dan juga kita enggak ingin kemudian, apa negeri ini carut-marut kembali gitu seperti yang terjadi pada pada 1998 atau pada tahun 1965-1966,” kata Ikrar dalam acara Speak Up, di YouTube Channel Abraham Samad, yang dikutip Senin (15/4/2024).

Ikrar menyebutkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga Panglima TNI dan Kapolri serta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk berpikir dua kali jika menggunakan kekuasaan untuk mengintervensi penyelenggaraan Pemilu 2024.

“Supaya yang namanya presiden, yang namanya Panglima TNI, yang namanya Kapolri atau Menteri Dalam Negeri, harus berpikir dua kali bahwa mereka bisa mengacaukan perolehan suara dalam sebuah Pemilu dengan kekuatan-kekuatan yang mereka miliki atau kemudian juga dengan kerja sama yang begitu rapat di antara mereka pada Pemilu 2024 kemarin,” kata Ikrar.

Selain itu, Ikrar juga menyinggung kritik dan kegelisahan para guru besar, aksi demo mahasiswa, dan gerakan elemen masyarakat sipil yang rata-rata mempersoalkan tentang cawe-cawe dan indikasi kecurangan yang dilakukan Presiden Jokowi dalam Pemilu 2024.

Menurutnya, hampir sebagian besar pernyataan moral oleh para guru besar dan elemen masyarakat sipil yang mengkritisi kecurangan Pemilu 2024 bahkan meminta Presiden Jokowi untuk mundur.

Ikrar menilai, kemungkinan Jokowi mundur dari kursi presiden sulit terjadi kecuali dengan situasi khusus. Hal itu bisa diawali dari mundurnya para menteri selaku pembantu presiden, seperti yang juga dilakukan para menteri di Kabinet Pembangunan pimpinan Presiden Soeharto, saat gerakan Reformasi 1998.

“Saya beri contoh misalnya ya itu menteri-menterinya juga harus mundur dulu kalau menterinya mundur kan tidak ada yang bisa menjadi pembantu dia. Makanya kenapa Pak Harto itu lengser kan gara-gara sebenarnya persoalan itu,” jelasnya.

“Karena Ketua MPR-nya juga menyatakan sikap, kemudian juga menteri-menterinya juga menyatakan sikap mundur dan kemudian tidak ada lagi orang yang kemudian menjadi pembantu dia. Nah makanya kemudian lengser,” sambung Ikrar.