Menko Polhukam, Hadi Tjahjanto menyatakan bahwa sengketa di Laut China Selatan (LCS) masih berlanjut dan belum menemui titik terang. Hal ini disebabkan oleh tindakan Republik Rakyat China (RRC) yang terus melakukan penghalauan terhadap kapal nelayan yang menangkap ikan di LCS, yang kemudian menuai protes dari Indonesia dan Filipina.
Meskipun klaim RRC atas LCS telah ditolak oleh Mahkamah Arbitrase Internasional atau Pengadilan Permanen Arbitrase (PCA) karena tidak memiliki dasar hukum internasional, RRC tetap menolak putusan tersebut dengan alasan melanggar Unclos 1982 (Konvensi PBB tentang hukum laut) dan hak kedaulatan RRC di LCS.
Hadi menyampaikan bahwa seringkali terjadi insiden di LCS yang jika tidak dikelola dengan baik dapat memicu konflik terbuka antara kapal RRC dan Filipina. Penggunaan laser, water canon, dan blokade terhadap nelayan dapat mengancam stabilitas dan perdamaian di LCS.
Pada tahun 2023, RRC secara sepihak mengeluarkan peta baru yang menambahkan garis putus-putus menjadi 10 dash line, yang mengklaim seluruh wilayah LCS. Peta tersebut juga tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara dan menuai protes keras dari berbagai negara, termasuk Indonesia.