Generasi muda merupakan garda terdepan dalam melawan hoaks dan intoleransi. Konten negatif tersebut seringkali tersebar di media sosial dan seringkali mengikuti isu-isu populer yang sedang hangat diperbincangkan, seperti konflik antara Palestina (Hamas) dan Israel serta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Oleh karena itu, generasi muda Indonesia perlu mempercepat pendewasaan diri agar tidak terjebak dalam arus informasi yang berlebihan. Selain itu, generasi muda juga harus mengadaptasi Sumpah Pemuda ke dalam era digital saat ini.
Menurut akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rully Nasrullah, beberapa penelitian mengungkap bahwa paham radikalisme dan rekruitmen terorisme seringkali terjadi melalui media sosial. Para kelompok radikal akan mencari peluang saat momen yang tepat untuk menyebarkan isu-isu dengan dibungkus kebohongan. Untuk menghadapi hal ini, Rully menyatakan bahwa studi mengenai resistensi terhadap berita bohong dan intoleransi sudah mudah ditemukan baik melalui pendidikan formal maupun internet.
Pemerintah dan lembaga non-pemerintah telah mengimbau masyarakat Indonesia agar berhati-hati terhadap berita bohong. Namun, penerimaan terhadap berita bohong sangat bergantung pada individu tersebut. Dalam beberapa kasus, generasi muda lebih mudah percaya terhadap berita bohong dan intoleransi karena mereka terpapar oleh konten negatif melalui lingkaran pergaulannya di media sosial. Penting untuk diingat bahwa teman-teman di media sosial dan internet belum tentu adalah teman sejati.
Terlebih lagi, berita bohong seringkali menyinggung isu-isu sensitif seperti SARA. Hal ini dilakukan untuk memancing sisi emosional seseorang atau kelompok dengan latar belakang tertentu. Dalam kondisi ini, pendekatan logis untuk menenangkan situasi menjadi semakin sulit dilakukan. Namun, perlu ada upaya untuk mencegah individu atau kelompok yang termotivasi melakukan tindakan melawan hukum. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa berita bohong selalu memainkan isu-isu sensitif seperti SARA.